Kisah Nyata : Berjuang Dengan Maut Di Atas Mobil

Kisah nyata, suka duka pelayanan di desa. Kejadian pada tanggal 4 April 2005

Malam itu hujan deras luar biasa membasahi dusun Wates, waktu telah menunjukan jam 7,30, jemaat baru sebagian yang hadir untuk kebaktian malam, hati ku bertanya-tanya, kenapa masih banyak keluarga yang belum hadir, apakah hujan yang menghalangi mereka? Ataukah terlalu cape mereka, karena siang harinya warga dusun Wates baru saja merayakan Saparan, dimana seluruh warga dusun tsb. merayakan bulan Sapar seperti lebaran, tiap keluarga memasak paling tidak memotong seekor ayam dan membuat jenang, pokoknya hari itu aku kenyang sekali, tiap warga mengundangku untuk mencicipi masakan keluarga mereka, kita tidak etis kalau diundang warga tidak makan, walau aku sudah katakan, kulo nembih mawon (aku baru saja makan), tidak sopan kalau tuan rumah sudah menyediakan makanan kita tidak makan, biarpun sedikit kita harus makan.

Malam itu kebaktian agak terlambat dimulai, banyak yang tidak hadir,.usai kebaktian hujan masih turun, sampai jam 10 lewat masih belum berhenti, hawa dingin di lereng gunung Merbabu membuat tidurku malam itu tak bisa lelap seperti aku tidur di rumah, sekitar jam 2 dini hari aku dikejutkan Tuan rumah Bp Hadi mengetok-ngetok pintu kamarku, rupanya ada warga yang sakit ingin melahirkan untuk meminta tolong aku mengantarkan ke rumah sakit, aku meloncat dari tempat tidur langsung kemobil untuk menghidupkan mobil, dengan susah payah karena jalan yang licin karena hujan semalam akhirnya tiba juga didepan rumah Pak Selamet, kulihat orang-orang desa sudah pada kumpul, isteri dan anak2 Pak Selamat lagi menangiskan kakaknya yang akan melahirkan sejak jam 6 sore belum juga keluar bayinya.

Aku melihat ani ibu yang akan melahirkan digotong badannya sudah lemas ke mobil, untung hari itu aku membawa mobil kijang yang bangku tengahnya bisa dilipat sehingga ibu ani bisa direbahkan didalam mobil, perjalanan dari dusun Wates ke kota yang terdekat di Magelang memakan waktu 1,5 jam perjalanan, aku hanya berdoa Tuhan berikan kekuatan pada ibu ani, hatiku dak dik duk dijalan keluar desa yang berbatuan dan menanjak mesin mobil berhenti tidak kuat menanjak, aku berteriak dalam hati “Tuhan tolong” aku serba salah kalau tancap gas, bagaimana nantinya ibu ani yang akan melahirkan pasti kesakitan karena jalannya bergelombang, aku hanya berdoa Tuhan tolong perjalanan ini dan kuatkan ibu ani, penumpang yang ikut berjumlah 4 orang, ketika mesin mobilnya mati 2 orang langsung turun mencari batu untuk mengganjal ban agar tidak turun kebelakang sangat bahaya sekali karena sebelah kiri adalah jurang, mobil kuhidupkan kembali untung mobil kuat sampai diujung jalan yang menanjak, dalam 20 menit perjalanan berbatuan yang bergelombang baru sampai di jalan raya beraspal ke Magelang, suasana pagi yang masih gelap dan banyak kabut yang membuat perjalanan tidak lancar, aku hanya berani menjalankan mobil sekitar 40km/jam, konsentrasi ku pusatkan kedepan jalan yang selalu menurun tajam, aku sudah hafal melewati jalan yang berliku2 menurun ini, sudah hampir 4 tahun aku lewati jalan ini setiap minggu, kali ini perjalanan yg sama aku tidak bisa menikmati pagi indah dengan pemandangan pegunungan, suasana sekitarnya masih gelap gulita, sekali-kali papasan dengan mobil yang dari bawah, dan tangisan2 kaum ibu yang mengantar dibelakang kemudiku meminta agar ibu ani jangan memejamkan matanya supaya eling, aku mempercepat larinya kendaraan dengan hati-hati.

Baca Juga :   Goresan Lembut Sang Penulis Yang Memulihkan Hatiku

Tak kudengar teriakan kesakitan dari ibu ani seperti biasanya teriakan2 wanita atau isteriku yang akan melahirkan, aku menyuruh mereka yang dibelakang memijat jari-jari tangan dan kakinya ibu ani, aku takut jangan2 dia pingsan, perjalanan yang menegangkan aku hanya dapat berdoa : tolong Tuhan, berikan ia kekuatan sampai di rumah sakit, kira2 1 jam perjalanan, aku mendengar suara bayi menangis, ibu ani telah melahirkan di mobilku, aku berteriak bagaimananih? Berhenti atau terus jalan? Aku disuruh terus berjalan, waktu itu baru setengah perjalanan, hatiku berdebar-debar dan berdoa tolong Tuhan kuatkan ibu ani, lewat Tegalrejo aku baru mendengar suara adzan subuh, berarti jam 4,30 pagi baru sampai di Magelang, teriakan dan tangisan dari arah belakang kemudiku meminta ibu ani Eling menyebut Gusti, didekat Banyu Asin aku diminta berhenti dan rupanya ada rumah bidan.

Pintu diketok-ketok keluar seorang ibu rupanya ia bidannya, kemudian ia memotong tali pusarnya bayi, ibu ani digotong kedalam ruang prateknya dan setelah diperiksa oleh ibu bidan sebentar dan ia berkata maaf dibawah keluar lagi saya tidak sanggup menolongnya harus dibawah kerumah sakit segera terpaksa kami gotong kembali ibu ani yg sudah tidak bergerak itu ke rumah sakit RSU Magelang, dalam seperempat jam aku sudah sampai di Magelang, dan ibu ani didorong keruang ICU, hanya sebentar dokter jaga keluar lagi menemui kami dan berkata, dia sudah tidak ada apakah ari-arinya mau dikeluarkan atau dibiarkan saja, ketika itu juga suami dan ibu-ibu yang mengantar meraung-raung menangis memecahkan kesunyian pagi diruang ICU, sampai aku yg menjawab kepada dokter itu untuk mengeluarkan ari-ari nya.

Terpaksa pagi itu aku membawah kembali ibu ani yang sudah tak bernyawa itu kedusun wates, suaminya berteriak2 menangis. membuat aku teringat 20 tahun yang lewat, dimana aku menyaksikan sendiri bagaimana isteriku berjuang dengan maut ketika akan melahirkan Yosua anakku yang kini sedang kuliah, isteri ku mengalami takdir seperti ibu ani, tetapi aku percaya isteriku sudah berada dirumah Bapa disurga saat ini dibanding ibu ani yg belum mengenal Tuhan.

Baca Juga :   Diabetes Di Usia Muda Jadi Penyebab Gangguan Mental, Ini Kata Dokter

Disepanjang perjalanan pulang suaminya berteriak-teriak memanggil nama isterinya, aku dari balik stir hanya bisa menasehatkan Parwidi suaminya, Tuhan mempunyai rencana indah buat kamu Par, Pakde telah mengalami sendiri seperti kamu, tabahkan hatimu, hatiku bertanya-tanya sama Tuhan apakah ini rencanaMu Tuhan, semua boleh terjadi agar Parwidi bisa kembali lagi kepadaMu, dahulu sebelum menikah dengan ibu ani, Parwidi sebenarnya adalah anak Tuhan yg sudah mengenal Yesus, tetapi sejak dia mengenal dengan gadis ani, dia sudah jarang ke gereja, bahkan meninggalkan Tuhan dan murtad menikah di KUA, aku bertanya-tanya dalam hati apakah ini semua rencanaMu Tuhan? Karena terus terang jemaat masih sering berdoa untuknya.

Hari itu aku benar2 cape sekali, pulangnya ke Borobudur , mobilku yang kurang fit hampir masuk jurang, untung Tuhan senantiasa menyertaiku, orang2 desa berbondong-bondong mengangkat mobil yang tinggal 20 cm dari tepi jurang. Itulah suka dukanya melayani dipedesaan.

Peristiwa kelahiran seorang bayi dan kematian ibu ani diatas mobil, sebagai hamba Tuhan mengingatkan kaum muda-mudi, jangan engkau tinggalkan Yesus karena “Cinta”, peristiwa ini juga mengingatkan ku dimana aku yang saat itu melihat sendiri disaat-saat orang yang ku kasihi sedang berjuang dengan maut, dan akhirnya dia menang kesurga, secara manusia saat itu juga aku ingin ikut dengannya, aku shock aku dipresi waktu itu, tetapi ada seorang yang menguatkan aku melalui firmanNya: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan “(Yermia 29 : 11)

Terima kasih Tuhan, karena sejak itu aku dididik oleh Tuhan untuk melayani Tuhan, bahkan Tuhan percayakan aku untuk mengelola sebuah bukit doa di Borobudur dan melayani dipedesaan.

Komentar

komentar

Posted by Daniel Alamsjah

Pendiri Rumah Doa Bukit Rhema, aktif melayani di Panti Rehab & Panti Jompo Betesda.