Bahaya Pernikahan Dini, Ini Kata Dokter

Praktik pernikahan dini masih cukup banyak di Indonesia. Padahal, perkawinan pada usia anak, yakni di bawah usia 18 tahun, merupakan masalah yang sangat serius karena mengandung berbagai risiko dari berbagai aspek, antara lain kesehatan, psikologi, dan sosiologi.

Badan kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sendiri menyebutkan usia perkawinan yang wajar yaitu 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Mereka yang melakukan perkawinan di bawah usia tersebut bisa dikategorikan tidak wajar karena usia belum matang, organ intim dan reproduksi sedang berkembang, serta mental yang masih belum stabil.

“Perlu menunda hubungan seksual hingga umur, biologis, dan mental menjadi dewasa serta finansial yang memadai karena perkawinan usia anak tidak memberikan dampak positif pada siapa pun dan hanya menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga dan bagi bangsa,” ungkap Vice President of Life Operation Division Sequis, Eko Sumurat.

Jika perkawinan usia dini tidak segera diatasi, dampaknya akan semakin kompleks, yaitu dampak kemanusiaan, kesehatan, ekonomi, dan masih banyak lagi.

“Anak-anak Indonesia akan menjadi generasi penerus bangsa. Jika mereka tumbuh dengan kesehatan yang tidak layak, cacat genetik, emosi yang tidak stabil serta pendidikan yang tidak berkualitas maka beban yang kita tanggung di masa depan akan lebih tinggi,” tambah Eko.

Kecemasan yang diungkap Eko Sumurat beralasan. Menurut dokter spesialis jiwa OMNI Hospitals Pulomas, Jakarta, dr. Jimmi MP Aritonang, Sp. KJ, secara psikologis perkawinan usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri serta emosi yang tidak berkembang dengan matang.

“Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri. Hal ini karena si anak belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi ibu atau orang tua,” ujar dokter Jimmi.

Baca Juga :   Ketahui 6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Gula

Selain itu, perkawinan usia anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori.

“Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga, serta terjadinya perceraian. Di sisi lain, tuntutan bersosialisasi dalam masyarakat atau menghadapi pandangan masyarakat akan membuat si anak merasa tertekan dan cenderung menutup diri dari aktivitas sosial. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas menurun dan sedikit peluang untuk melanjutkan pendidikan,” papar Jimmi.

Sementara dari segi biologis, perkawinan usia anak, khususnya pada remaja perempuan yang hamil dan melahirkan, rawan mengalami gangguan mental pascamelahirkan, seperti depresi setelah melahirkan (baby blues syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan.

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Health Claim Senior Manager Sequis dr. Yosef Fransiscus. Ia mengatakan bahwa anak secara fisik belum matang untuk melakukan hubungan seksual, mengalami hamil, dan melahirkan.

“Perkawinan usia anak, rentan terjadi dominasi oleh pasangan yang lebih tua sehingga kemungkinan pasangan yang lebih muda tidak berani untuk meminta hubungan seks dengan alat pengendali kehamilan agar tidak hamil di usia muda. Padahal hubungan seksual yang dilakukan di usia dini, secara terpaksa, dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicu kemungkinan kerusakan organ intim. Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan ovulasi/hamil di jangka panjang,” ujar Yosef.

Gangguan mental dan kesehatan ibu hamil ternyata berdampak juga pada anak yang dilahirkan. “Pada anak yang dilahirkan, rawan terjadi gangguan mental seperti down syndrome serta berisiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibandingkan mereka yang lahir dari pernikahan usia matang dan bahagia,” kata Jimmi.

Baca Juga :   Karena Kasih Allah Aku Sembuh Dari Depresi Dan Jadi Anak Berprestasi

Sedangkan gangguan pada kesehatan, misalnya terjadi cacat lahir. “Akibat tulang belakang bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau defek pada tulang belakang dan saraf tulang belakang (spina bifida),” tambah Yosef.

Kesulitan anak perempuan dari pasangan perkawinan usia anak tidak hanya dirasakan pada saat hamil dan melahirkan, tetapi juga saat membesarkan anak. Akibat keterbatasan finansial dan mobilitas, serta keterbatasan berpendapat seringkali membuat anak perempuan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya termasuk juga ketidaksiapan emosional orang tua karena memiliki anak. Akibatnya, dapat terjadi risiko penelantaran bayi atau pengasuhan yang tidak tepat.

Jika ini terjadi, maka pada perkembangan selanjutnya anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia dini.

Sumber : cantik.tempo.co (Aura)

Komentar

komentar